Rabu, November 28, 2007

[resep] Nasi Hainan

Bahan:
250 gram Beras
500 ml Kaldu ayam
3 siung Bawang putih dihaluskan
1 cm Jahe dihaluskan
1 sdm Arak cina
1 sdt Minyak wijen
1/2 sdm Kecap Asin
4 sdm Minyak goreng

Bahan Kuah Ayam:
75 gram Labu bligo/labu siam dipotong dadu
500 ml Kaldu ayam
1 ekor Ayam kampung beri cuka pada kepala, mulut dan kaki
1 sdm hasil gorengan bawang putih dan jahe
Garam, kecap asin, minyak wijen, arak cina secukupnya

Bahan Sambal:
5 buah cabe merah direbus
10 buah cabe rawit direbus
1/2 buah tomat direbus
1 sdm hasil gorengan bawang/jahe
garam secukupnya

Cara membuat:
1. Goreng bawang putih, jahe yang sudah dihaluskan, hingga kuning dan kering bergumpal, angkat ampas bawang, sisihkan untuk kuah dan sambal.
2. Masukkan beras dalam minyak yang panas, aduk, tambahkan kecap asin hingga harum dan masukkan kaldu, kecilkan api sambil sesekali diaduk, masak hingga menjadi karonan.
3. Kemudian kukus karonan, hingga menjadi nasi.

Untuk ? porsi

Senin, November 19, 2007

[kisah] Bung Hatta Dan Kisah Sepatu Bally

PADA tahun 1950-an, Bally adalah sebuah merek sepatu yang bermutu tinggi dan tentu tidak murah. Bung Hatta, Wakil Presiden pertama RI, berminat pada sepatu Bally. Ia kemudian menyimpan guntingan iklan yang memuat alamat penjualnya, lalu berusaha menabung agar bisa membeli sepatu idaman tersebut.
 
Namun, uang tabungan tampaknya tidak pernah mencukupi karena selalu terambil untuk keperluan rumah tangga atau untuk membantu kerabat dan handai taulan yang datang kepadanya untuk meminta pertolongan. Hingga akhir hayatnya, sepatu Bally idaman Bung Hatta tidak pernah terbeli karena tabungannya tak pernah mencukupi.

Yang sangat mengharukan dari cerita ini, guntingan iklan sepatu Bally itu hingga Bung Hatta wafat masih tersimpan dan menjadi saksi keinginan sederhana dari seorang Hatta. Jika ingin memanfaatkan posisinya waktu itu, sebenarnya sangatlah mudah bagi Bung Hatta untuk memperoleh sepatu Bally. Misalnya, dengan meminta tolong para duta besar atau pengusaha yang menjadi kenalan Bung Hatta.

"Namun, di sinilah letak keistimewaan Bung Hatta. Ia tidak mau meminta sesuatu untuk kepentingan sendiri dari orang lain. Bung Hatta memilih jalan sukar dan lama, yang ternyata gagal karena ia lebih mendahulukan orang lain daripada kepentingannya sendiri," kata Adi Sasono, Ketua Pelaksana Peringatan Satu Abad Bung Hatta. Pendeknya, itulah keteladanan Bung Hatta, apalagi di tengah carut-marut zaman ini, dengan dana bantuan presiden, dana Badan Urusan Logistik, dan lain-lain.
Bung Hatta meninggalkan teladan besar, yaitu sikap mendahulukan orang lain, sikap menahan diri dari meminta hibah, bersahaja, dan membatasi konsumsi pada kemampuan yang ada. Kalau belum mampu, harus berdisiplin dengan tidak berutang atau bergantung pada orang lain. Seandainya bangsa Indonesia dapat meneladani karakter mulia proklamator kemerdekaan ini, seandainya para pemimpin tidak maling, tidak mungkin bangsa dengan sumber alam yang melimpah ini menjadi bangsa terbelakang, melarat, dan nista karena tradisi berutang dan meminta sedekah dari orang asing.

Selasa, November 13, 2007

[kisah] Aku Punya Papa yang Tak Pernah Korupsi

Puluhan tahun bekerja di Pertamina dengan jabatan yang sangat "basah" sebenarnya membuka peluang yang sangat besar bagi ayah saya untuk lebih mensejahterakan anak istrinya dengan uang korupsi. Saya pikir-pikir, kalau ayah saya mau korupsi, paling tidak bisa mengirim saya dan adik saya sekolah ke luar negeri, bisa beli rumah yang lebih megah di kawasan yang lebih elit, bisa membelikan kami anak-anaknya masing-masing sebuah mobil keluaran terbaru, bisa mengajak kami sekeluarga berlibur keliling dunia, bisa membelikan ibu saya perhiasan berlian dan baju-baju yang mahal seperti yang dilakukan oleh teman2nya yang lain.
Tapi ayah saya memilih untuk hanya memberikan uang gajinya berikut bonus-bonus perusahaan untuk kehidupan keluarganya. Ayah saya memilih untuk hidup jujur dan menghindari korupsi. Kalau saya tanya, "Kenapa sih Papa gak mau korupsi? Kalau Papa korupsi tentunya aku bisa punya mobil sendiri seperti Jeanne temanku itu ...." Ayah saya cuma berujar pendek, "Buat apa kaya tapi tiap malam tidur tidak bisa nyenyak ..."
Ibu saya pun Alhamdulillah tidak pernah merongrong suaminya untuk memberikan lebih dari apa yang sudah menjadi hak suaminya. Ibu saya mengajarkan kepada kami semua bahwa sudah seharusnya kami semua bangga punya Papa yang tetap jujur dan memiliki integritas yang tinggi, tidak goyah dengan iming-iming materi untuk meloloskan satu-dua proyek yang nilainya jutaan dollar. Dan sudah sewajarnya keluarganya mendukung untuk tidak "memaksa" Papa mencari kelebihan materi melalui usaha-usaha yang merugikan orang lain.
Ayah saya yang sudah lebih 35 tahun bekerja di Pertamina, di hari tuanya ini hanya memiliki sebuah rumah yang sudah bocor di sana-sini menanti bertahun-tahun untuk diperbaiki, sebuah mobil bekas yang dirawat Papa dengan penuh hati-hati sebab katanya Papa tidak punya uang lebih kalau harus mengganti mobil yang lebih baru dan seorang istri yang tak pernah iri bila dalam arisan teman-temannya memamerkan berlian semilyar rupiah atau tas kulit merek terkenal berharga jutaan rupiah sementara dirinya cuma pakai tas beli di Mangga Dua dan perhiasan emas yang dibelinya di toko emas di pasar dekat rumah.
Tapi saya tahu ayah saya selalu menatap rekan kerjanya dengan kepala tegak, bicara dengan team Pemeriksa Keuangan dengan suara mantap, menyergah atasannya dengan tegas, karena memang ia tak pernah sepeser pun "mencuri" uang rakyat dengan praktek korupsi.
Saya sangat bangga dengan ayah saya yang sebentar lagi akan memasuki masa pensiun dengan nama bersih tanpa cela, disegani dan dihargai oleh semua rekan kerjanya karena tidak pernah sekalipun terlibat korupsi.
Dulu, sewaktu kecil setiap teman-teman saya memamerkan pakaian mahal terbaru, mainan mahal terbaru atau perhiasan mahal terbaru dan setengah mengejek berkata, "Kamu punya apa, Fer?"
Saya bisa menjawab pasti, "Aku punya Papa yang tak pernah korupsi."

Sumber: Ferona Yulia yang di milis wanita-muslimah@yahoogroups.com

[kisah] Kisah Seorang Pemeriksa Pajak Melawan Korupsi

Sebagai pegawai Departemen Keuangan, saya tidak gelisah dan tidak kalangkabut akibat prinsip hidup korupsi. Ketika misalnya, tim Inspektorat Jenderal datang, BPKP datang, BPK datang, teman-teman di kantor gelisah dan belingsatan, kami tenang saja. Jadi sebenarnya hidup tanpa korupsi itu menyenangkan sekali. Hidup tidak korupsi itu sebenarnya lebih menyenangkan. Meski orang melihat kita sepertinya sengsara, tapi sebetulnya lebih menyenangkan. Keadaan itu paling tidak yang saya rasakan langsung.
Saya Arif Sarjono, lahir di Jawa Timur tahun 1970, sampai dengan SMA di Mojokerto, kemudian kuliah di Sekolah Tinggi Akuntansi Negara (STAN) dan selesai pada 1992. Pada 17 Oktober 1992 saya menikah dan kemudian saya ditugaskan di Medan. Saya ketika itu mungkin termasuk generasi pertama yang mencoba menghilangkan dan melawan arus korupsi yang sudah sangat lazim. Waktu itu pertentangan memang sangat keras. Saya punya prinsipsatu saja, karena takut pada Allah, jangan sampai ada rezeki haram menjadi daging dalam diri dan keturunan. Itu saja yang selalu ada dalam hati saya.
Kalau ingat prinsip itu, saya selalu menegaskan lagi untuk mengambil jarak yang jelas dan tidak menikmati sedikit pun harta yang haram.
Syukurlah, prinsip itu bisa didukung keluarga, karena isteri juga aktif dalam pengajian keislaman. Sejak awal ketika menikah, saya sampaikan kepada isteri bahwa saya pegawai negeri di Departemen Keuangan, meski imej banyak orang, pegawai Departemen Keuangan kaya, tapi sebenarnya tidak begitu. Gaji saya hanya sekian, kalau mau diajak hidup sederhana dan tanpa korupsi, ayo. Kalau tidak mau, ya sudah tidak jadi.
Dari awal saya sudah berusaha menanamkan komitmen kami seperti itu. Saya juga sering ingatkan kepada isteri, bahwa kalau kita konsisten dengan jalan yang kita pilih ini, pada saat kita membutuhkan maka Allah akan selesaikan kebutuhan itu. Jadi yg penting usaha dan konsistensi kita. Saya juga suka mengulang beberapa kejadian yg kami alami selama menjalankan prinsip hidup seperti ini kepada istri.
Bahwa yg penting bagi kita adalah cukup dan berkahnya, bahwa kita bisa menjalani hidup layak. Bukan berlebih seperti memiliki rumah dan mobil mewah. Menjalani prinsip seperti ini jelas banyak ujiannya.
Di mata keluarga besar misalnya, orangtua saya juga sebenarnya mengikuti logika umum bahwa orang pajak pasti kaya. Sehingga mereka biasa meminta kami membantu adik- adik dan keluarga. Tapi kami berusaha menjelaskan bahwa kondisi kami berbeda dengan imej dan anggapan orang. Proses memberi pemahaman seperti ini pada keluarga sulit dan membutuhkan waktu bertahun-tahun. Sampai akhirnya pernah mereka berkunjung ke rumah saya di Medan, saat itulah mereka baru mengetahui dan melihat bagaimana kondisi keluarga saya, barulah perlahan-lahan mereka bisa memahami.
Jabatan saya sampai sekarang adalah petugas verifikasi lapangan atau pemeriksa pajak. Kalau dibandingkan teman-teman seangkatan sebenarnya karir saya bisa dikatakan terhambat antara empat sampai lima tahun. Seharusnya paling tidak sudah menjabat Kepala Seksi, Eselon IV. Tapi sekarang baru Eselon V. Apalagi dahulu di masa Orde Baru, penentangan untuk tidak menerima uang korupsi sama saja dengan karir terhambat. Karena saya dianggap tidak cocok dengan atasan, maka kondite saya di mata mereka buruk. Terutama poin ketaatannya, dianggap tidak baik dan jatuh.
Banyak pelajaran yang bisa saya petik dari semua pengalaman itu. Antara lain, orang-orang yang berbuat jahat akan selalu berusaha mencari kawan apa pun caranya. Cara keras, pelan, lewat bujukan atau apa pun akan mereka lakukan agar mereka mendapat dukungan. Mereka pada dasarnya tidak ingin ada orang yang bersih. Mereka tidak ingin ada orang yang tidak seperti mereka.
Pengalaman di kantor yang paling berkesan ketika mereka menggunakan cara paling halus, pura-pura berteman dan bersahabat. Tapi belakangan, setelah sekian tahun barulah ketahuan, kita sudah dikhianati. Cara seperti in seperti sudah direkayasa. Misalnya, pegawai-pegawai baru didekati. Mereka dikenalkan dengan gaya hidup dan cara bekerja pegawai lama, bahwa seperti inilah gaya hidup pegawai Departemen Keuangan. Bila tidak berhasil, mereka akan pakai cara lain lagi, begitu seterusnya. Pola-pola apa saja dipakai, sampai mereka bisa merangkul orang itu menjadi teman.
Saya pernah punya atasan. Dari awal ketika memperkenalkan diri, dia sangat simpatik di mata saya. Dia juga satu-satunya atasan yang mau bermain ke rumah bawahan. Saya dengan atasan itu kemudian menjadi seperti sahabat, bahkan seperti keluarga sendiri. Di akhir pekan, kami biasa memancing sama-sama atau jalan-jalan bersama keluarga. Dan ketika pulang, dia biasa juga menitipkan uang dalam amplop pada anak-anak saya. Saya sendiri menganggap pemberian itu hanya hadiah saja, berapalah hadiah yang diberikan kepada anak-anak. Tidak terlalau saya perhatikan. Apalagi dalam proses pertemanan itu kami sedikit saja berbicara tentang pekerjaan. Dan dia juga sering datang menjemput ke rumah, mangajak mancing atau ke toko buku sambil membawa anak-anak.

Hingga satu saat saya mendapat surat perintah pemeriksaan sebuah perusahaan besar. Dari hasil pemeriksaan itu saya menemukan penyimpangan sangat besar dan luar biasa jumlahnya. Pada waktu itu, atasan melakukan pendekatan pada saya dengan cara paling halus. Dia mengatakan, kalau semua penyimpangan ini kita ungkapkan, maka perusahaan itu bangkrut dan banyak pegawai yang di-PHK. Karena itu, dia menganggap efek pembuktian penyimpangan itu justru menyebabkan masyarakat rugi. Sementara dari sisi pandang saya, betapa tidak adilnyakalau tidak mengungkap temuan itu. Karena sebelumnya ada yang melakukan penyimpangan dan kami ungkapkan. Berarti ada pembedaan. Jadwal penagihannya pun sama seperti perusahaan lain.
Karena dirasa sulit mempengaruhi sikap saya, kemudian dia memakai logika lain lagi. Apakah tidak sebaiknya kalau temuan itu diturunkan dan dirundingkan dengan klien, agar bisa membayar pajak dan negara untung, karena ada uang yang masuk negara. Logika seperti ini juga tidak bisa saya terima. Waktu itu, saya satu-satunya anggota tim yang menolak dan meminta agar temuan itu tetap diungkap apa adanya. Meski saya juga sadar, kalau saya tidak menandatangani hasil laporan itu pun, laporan itu akan tetap sah. Tapi saya merasa teman-teman itu sangat tidak ingin semua sepakat dan sama seperti mereka. Mereka ingin semua sepakat dan sama seperti mereka. Paling tidak menerima. Ketika sudah mentok semuanya, saya dipanggil oleh atasan dan disidang di depan kepala kantor. Dan ini yang amat berkesan sampai sekarang, bahwa upaya mereka untuk menjadikan orang lain tidak bersih memang direncanakan.
Di forum itu, secara terang-terangan atasan yang sudah lama bersahabat dan seperti keluarga sendiri dengan saya itu mengatakan, "Sudahlah, Dik Arif tidak usah munafik."
Saya katakan, "Tidak munafik bagaimana Pak? Selama ini saya insya Allah konsisten untuk tidak melakukan korupsi." Kemudian ia sampaikan terus terang bahwa uang yang selama kurang lebih dua tahun ia berikan pada anak saya adalah uang dari klien. Ketika mendengar itu, saya sangat terpukul, apalagi merasakan sahabat itu ternyata berkhianat. Karena terus terang saya belum pernah mempunyai teman sangat dekat seperti itu, kacuali yang memang sudah sama-sama punya prinsip untuk menolak uang suap.
Bukan karena saya tidak mau bergaul, tapi karena kami tahu persis bahwa mereka perlahan-lahan menggiring ke arah yang mereka mau. Ketika merasa terpukul dan tidak bisa membalas dengan kata-kata apa pun, saya pulang. Saya menangis dan menceritakan masalah itu pada isteri saya di rumah. Ketika mendengar cerita saya itu, isteri langsung sujud syukur.
Ia lalu mengatakan, "Alhamdulillah. Selama ini uang itu tidak pernah saya pakai," katanya. Ternyata di luar pengatahuan saya alhamdulillah, amplop-amplo itu tidak digunakan sedikit pun oleh isteri saya untuk keperluan apa pun. Jadi amplop-amplop itu disimpan di sebuah tempat, meski ia sama sekali tidak tahu apa status uang itu. Amplop-amplop itu semuanya masih utuh. Termasuk tulisannya masih utuh, tidak ada yang dibuka. Jumlahnya berapa saya juga tidak tahu. Yang jelas, bukan lagi puluhan juta. Karena sudah masuk hitungan dua tahun dan diberikan hampir setiap pekan. Saya menjadi bersemangat kembali. Saya ambil semua amplop itu dan saya bawa ke kantor. Saya minta bertemu dengan kepala kantor dan kepala seksi.
Dalam forum itu, saya lempar semua amplop itu di hadapan atasan saya hingga bertaburan di lantai. Saya katakan, "Makan uang itu, satu rupiah pun saya tidak pernah gunakan uang itu. Mulai saat ini, saya tidak pernah percaya satu pun perkataan kalian." Mereka tidak bisa bicara apa pun karena fakta obyektif, saya tidak pernah memakai uang yang mereka tuduhkan. Tapi esok harinya, saya langsung dimutasi antar seksi. Awalnya saya diauditor, lantas saya diletakkan di arsip, meski tetap menjadi petugas lapangan pemeriksa pajak. Itu berjalan sampai sekarang. Ketika melawan arus yang kuat, tentu saja da saat tarik-menarik dalam hati dan konflik batin. Apalagi keluarga saya hidup dalam kondisi terbatas. Tapi alhamdulillah, sampai sekarang saya tidak tergoda untuk menggunakan uang yang tidak jelas. Ada pengalaman lain yang masih saya ingat sampai sekarang. Ketika saya mengalami kondisi yang begitu mendesak. Misalnya, ketika anak kedua lahir. Saat itu persis ketika saya membayar kontrak rumah dan tabungan saya habis. Sampai detik-detik terakhir harus membayar uang rumah sakit untuk membawa isteri dan bayi kami ke rumah, saya tidak punya uang serupiah pun.
Saya mau bcara dengan pihak rumah sakit dan terus terang bahwa insya Allah pekan depan akan saya bayar, tapi saya tidak bisa ngomong juga. Akhirnya saya keluar sebentar ke masjid untuk sholat dhuha. Begitu pulang dari sholat dhuha, tiba-tiba saja saya ketemu teman lama di rumah sakit itu. Sebelumnya kami lama sekali tidak pernah jumpa. Dia dapat cerita dari teman bahwa isteri saya melahirkan, maka dia sempatkan datang ke rumah sakit. Wallahu alam apakah dia sudah diceritakan kondisi saya atau bagaimana, tetapi ketika ingin menyampaikan kondisi saya pada pihak rumah sakit, saya malah ditunjukkan kwitansi seluruh biaya perawatan isteri yang sudah lunas. Alhamdulillah.
Ada lagi peristiwa hampir sama, ketika anak saya operasi mata karena ada lipoma yang harus diangkat. Awalnya, saya pakai jasa askes. Tapi karena pelayanan pengguna Askes tampaknya apa adanya, dan saya kasihan karena anak saya baru berumur empat tahun, saya tidak pakai Askes lagi. Saya ke Rumah Sakit yang agak bagus sehingga pelayanannya juga agak bagus. Itu saya lakukan sambil tetap berfikir, nanti uangnya pinjam dari mana?
Ketika anak harus pulang, saya belum juga punya uang. Dan saya paling susah sekali menyampaikan ingin pinjam uang. Alhamdulillah, ternyata Allah cukupkan kebutuhan itu pada detik terakhir. Ketika sedang membereskan pakaian di rumah sakit, tiba-tiba Allah pertemukan saya dengan seseorang yang sudah lama tidak bertemu. Ia bertanya bagaimana kabar, dan saya ceritakan anak saya sedang dioperasi. Dia katakan, "Kenapa tidak bilang-bilang?" Saya sampaikan karena tidak sempat saja. Setelah teman itu pulang, ketika ingin menyampaikan penundaan pembayaran, ternyata kwitansinya juga sudah dilunasi oleh teman itu. Alhamdulillah.
Saya berusaha tidak terjatuh ke dalam korupsi, meski masih ada tekanan keluarga besar, di luar keluarga inti saya. Karena ada teman yang tadinya baik tidak memakan korupsi, tapi jatuh karena tekanan keluarga. Keluarganya minta bantuan, karena takut dibilang pelit, mereka terpaksa pinjam sana sini. Ketika harus bayar, akhirnya mereka terjerat korupsi juga. Karena banyak yang seperti itu, dan saya tidak mau terjebak begitu, saya berusaha dari awal tidak demikian. Saya berusaha cari usaha lain, dengan mengajar dan sebagainya. Isteri saya juga bekerja sebagai guru.
Di lingkungan kerja, pendekatan yang saya lakukan biasanya lebih banyak dengan bercanda. Sedangkan pendekatan serius, sebenarnya mereka sudah puas dengan pendekatan itu, tapi tidak berubah. Dengan pendekatan bercanda, misalnya ketika datang tim pemeriksa dari BPK, BPKP, atau Irjen. Mereka gelisah sana-sini kumpulkan uang untuk menyuap pemeriksa. Jadi mereka dapat suap lalu menyuap lagi. Seperti rantai makanan. Siapa memakan siapa.
Uang yang mereka kumpulkan juga habis untuk dipakai menyuap lagi. Mereka selalu takut ini takut itu. Paling sering saya hanya mengatakan dengan bercanda, "Uang setan ya dimakan hantu."
Dari percakapan seperti itu ada juga yang mulai berubah, kemudian berdialog dan akhirnya berhenti sama sekali. Harta mereka jual dan diberikan kepada masyarakat. Tapi yang seperti itu tidak banyak. Sedikit sekali orang yang bisa merubah gaya hidup yang semula mewah lalu tiba-tiba miskin. Itu sulit sekali.
Ada juga diantara teman-teman yang beranggapan, dirinya tidak pernah memeras dan tidak memakan uang korupsi secara langsung. Tapi hanya menerima uang dari atasan. Mereka beralasan toh tidak meminta dan atasan itu hanya memberi. Mereka mengatakan tidak perlu bertanya uang itu dari mana. Padahal sebenarnya, dari ukuran gaji kami tahu persis bahwa atasan kami tidak akan pernah bisa memberikan uang sebesar itu.
Atasan yang memberikan itu berlapis-lapis. Kalau atasan langsung biasanya memberi uang hari Jum'at atau akhir pekan. Istilahnya kurang lebih uang Jum'atan. Atasan yang berikutnya lagi pada momen berikutnya memberi juga.
Kalau atasan yang lebih tinggi lagi biasanya memberi menjelang lebaran dan sebagainya. Kalau dihitung-hitung sebenarnya lebih besar uang dari atasan dibanding gaji bulanan. Orang-orang yang menerima uang seperti ini yang sulit berubah. Mereka termasuk rajin sholat, puasa sunnah dan membaca Al-Qur'an. Tetapi mereka sulit berubah. Ternyata hidup dengan korupsi memang membuat sengsara. Di antara teman-teman yang korupsi, ada juga yang akhirnya dipecat, ada yang melarikan diri karena dikejar-kejar polisi, ada yang isterinya selingkuh dan lain-lain. Meski secara ekonomi mereka sangat mapan, bukan hanya sekadar mapan.
Yang sangat dramatis, saya ingat teman sebangku saya saat kuliah di STAN. Awalnya dia sama-sama ikut kajian keislaman di kampus. Tapi ketika keluarganya mulai sering minta bantuan, adiknya kuliah, pengobatan keluarga dan lainnya, dia tidak bisa berterus terang tidak punya uang. Akhirnya ia mencoba hutang sana-sini. Dia pun terjebak dan merasa sudah terlanjur jatuh, akhirnya dia betul-betul sama dengan teman-teman di kantor. Bahkan sampai sholat ditinggalkan. Terakhir, dia ditangkap polisi ketika sedang mengkonsumsi narkoba. Isterinya pun selingkuh. Teman itu sekarang dipecat dan dipenjara.
Saya berharap akan makin banyak orang yang melakukan jihad untuk hidup yang bersih. Kita harus bisa menjadi pelopor dan teladan di mana saja. Kiatnya hanya satu, terus menerus menumbuhkan rasa takutmenggunakan dan memakan uang haram. Jangan sampai daging kita ini tumbuh dari hasil rejeki yang haram. Saya berharap, mudah-mudahan Allah tetap memberikan pada kami keistiqomahan (matanya berkaca-kaca).

Sumber: Majalah Tarbawi Edisi 111 Th. 7/Jumadal Ula 1426 H/23 Juni 2005)

Senin, November 12, 2007

[renungan] Boneka untuk Adikku

Jangan pernah mencintai karena uang. Anda tak tahu kapan hari terakhir anda atau kapan mereka meninggalkan anda.
Catatan: ini adalah kisah nyata
Hari terakhir sebelum Natal, aku terburu-buru ke supermarket untuk membeli hadiah-hadiah yang semula tidak direncanakan untuk dibeli. Ketika melihat orang banyak, aku mulai mengeluh: "Ini akan makan waktu selamanya, sedang masih banyak tempat yang harus kutuju"
"Natal benar-benar semakin menjengkelkan dari tahun ke tahun. Kuharap aku bisa berbaring, tidur, dan hanya terjaga setelahnya"
 
Walau demikian, aku tetap berjalan menuju bagian mainan, dan di sana aku mulai mengutuki harga-harga, berpikir apakah sesudahnya semua anak akan sungguh-sungguh bermain dengan mainan yang mahal.
 
Saat sedang mencari-cari, aku melihat seorang anak laki-laki berusia sekitar 5 tahun, memeluk sebuah boneka. Ia terus membelai rambut boneka itu dan terlihat sangat sedih. Aku bertanya-tanya untuk siapa boneka itu. Anak itu mendekati seorang perempuan tua di dekatnya: "Nenek, apakah engkau yakin aku tidak punya cukup uang?"
 
Perempuan tua itu menjawab: "Kau tahu bahwa kau tidak punya cukup uang untuk membeli boneka ini, sayang." Kemudian Perempuan itu meminta anak itu menunggu di sana sekitar 5 menit sementara ia berkeliling ke tempat lain. Perempuan itu pergi dengan cepat. Anak laki-laki itu masih menggenggam boneka itu di tangannya.
 
Akhirnya, aku mendekati anak itu dan bertanya kepada siapa dia ingin memberikan boneka itu. "Ini adalah boneka yang paling disayangi adik perempuanku dan dia sangat menginginkannya pada Natal ini. Ia yakin Santa Claus akan membawa boneka ini untuknya"

Aku menjawab mungkin Santa Claus akan membawa boneka untuk adiknya, dan supaya ia jangan khawatir. Tapi anak laki-laki itu menjawab dengan sedih "Tidak, Santa Claus tidak dapat membawa boneka ini ke tempat dimana adikku berada saat ini. Aku harus memberikan boneka ini kepada mama sehingga mama dapat memberikan kepadanya ketika mama sampai di sana." Mata anak laki-laki itu begitu sedih ketika mengatakan ini "Adikku sudah pergi kepada Tuhan. Papa berkata bahwa mama juga segera pergi menghadap Tuhan, maka kukira mama dapat membawa boneka ini untuk diberikan kepada adikku." Jantungku seakan terhenti.

Anak laki-laki itu memandangku dan berkata: "Aku minta papa untuk memberitahu mama agar tidak pergi dulu. Aku meminta papa untuk menunggu hingga aku pulang dari supermarket." Kemudian ia menunjukkan fotonya yang sedang tertawa. Kemudian ia berkata: "Aku juga ingin mama membawa foto ini supaya tidak lupa padaku. Aku cinta mama dan kuharap ia tidak meninggalkan aku tapi papa berkata mama harus pergi bersama adikku." Kemudian ia memandang dengan sedih ke boneka itu dengan diam.

Aku meraih dompetku dengan cepat dan mengambil beberapa catatan dan berkata kepada anak itu. "Bagaimana jika kita periksa lagi, kalau-kalau uangmu cukup?" "Ok" katanya. "Kuharap punyaku cukup." Kutambahkan uangku pada uangnya tanpa setahunya dan kami mulai menghitung. Ternyata cukup untuk boneka itu, dan malah sisa.

Anak itu berseru: "Terima Kasih Tuhan karena memberiku cukup uang" Kemudian ia memandangku dan menambahkan: "Kemarin sebelum tidur aku memohon kepada Tuhan untuk memastikan bahwa aku memiliki cukup uang untuk membeli boneka ini sehingga mama bisa memberikannya kepada adikku. DIA mendengarkan aku. Aku juga ingin uangku cukup untuk membeli mawar putih buat mama, tapi aku tidak berani memohon terlalu banyak kepada Tuhan. Tapi DIA memberiku cukup untuk membeli boneka dan mawar putih." "Kau tahu, mamaku suka mawar putih"

Beberapa menit kemudian, neneknya kembali dan aku berlalu dengan keretaku. Kuselesaikan belanjaku dengan suasana hati yang sepenuhnya berbeda dari saat memulainya. Aku tidak dapat menghapus anak itu dari pikiranku. Kemudian aku ingat artikel di koran lokal 2 hari yang lalu, yang menyatakan seorang pria mengendarai truk dalam kondisi mabuk dan menghantam sebuah mobil yang berisi seorang wanita muda dan seorang gadis kecil. Gadis kecil itu meninggal seketika, dan ibunya dalam kondisi kritis. Keluarganya harus memutuskan apakah harus mencabut alat penunjang kehidupan, karena wanita itu tidak akan mampu keluar dari kondisi koma. Apakah mereka keluarga dari anak laki-laki ini?

Dua hari setelah pertemuan dengan anak kecil itu, kubaca di koran bahwa wanita muda itu meninggal dunia. Aku tak dapat menghentikan diriku dan pergi membeli seikat mawar putih dan kemudian pergi ke rumah duka tempat jenasah dari wanita muda itu diperlihatkan kepada orang-orang untuk memberikan penghormatan terakhir sebelum penguburan. Wanita itu di sana, dalam peti matinya, menggenggam setangkai mawar putih yang cantik dengan foto anak laki-laki dan boneka itu ditempatkan di atas dadanya. Kutinggalkan tempat itu dengan menangis, merasa hidupku telah berubah selamanya. Cinta yang dimiliki anak laki-laki itu kepada ibu dan adiknya, sampai saat ini masih sulit untuk dibayangkan. Dalam sekejap mata, seorang pria mabuk mengambil semuanya dari anak itu.

Friends Are Like Angels,
Who Help Us Fly When Our Wings Have Forgotten To Fly.

[gambar] World Without Engineer

Aeronautical Engineers



Electronics Engineers



Mechanical Engineers



Civil Engineers



Communication Engineers



Computer Engineers


Jumat, November 09, 2007

[renungan] Airmata Semangkuk Mi

Pada malam itu, Ana bertengkar dengan ibunya. Karena sangat marah, Ana segera meninggalkan rumah tanpa membawa apa pun. Saat berjalan, ia baru menyadari bahwa ia sama sekali tdk membawa uang. Saat menyusuri sebuah jalan, ia melewati sebuah kedai bakmi dan ia mencium harumnya aroma masakan. Ia ingin sekali memesan semangkuk bakmi, tetapi ia tdk mempunyai uang. Pemilik kedai melihat Ana berdiri cukup lama di depan kedainya, lalu berkata, "Nona, apakah engkau ingin memesan semangkuk bakmi?"
 
"Ya, tetapi, aku tidak membawa uang," jawab Ana dengan malu-malu.

"Tidak apa-apa, aku akan mentraktirmu," jawab si pemilik kedai. "Silahkan duduk, aku akan memasakkan bakmi untukmu."

Tidak lama kemudian, pemilik kedai itu mengantarkan semangkuk bakmi. Ana segera makan beberapa suap, kemudian air matanya mulai berlinang.

"Ada apa nona?" Tanya si pemilik kedai.

"Tidak apa-apa, aku hanya terharu," jawab Ana sambil mengeringkan air matanya. "Bahkan, seorang yang baru kukenal pun memberi aku semangkuk bakmi. Tetapi, ibuku sendiri, setelah bertengkar denganku, mengusirku dari rumah dan mengatakan kepadaku agar jangan kembali lagi ke rumah. Kau seorang yang baru kukenal, tetapi begitu peduli denganku dibandingkan dengan ibu kandungku sendiri," katanya kepada pemilik kedai.

Pemilik kedai itu setelah mendengar perkataan Ana, menarik nafas panjang dan berkata, "Nona mengapa kau berpikir seperti itu? Renungkanlah hal ini, aku hanya memberimu semangkuk bakmi dan kau begitu terharu. Ibumu telah memasak bakmi dan nasi untukmu saat kau kecil sampai saat ini, mengapa kau tidak berterima kasih kepadanya? Dan kau malah bertengkar dengannya."

Ana terhenyak mendengar hal itu. "Mengapa aku tdk berpikir ttg hal itu? Untuk semangkuk bakmi dari orang yang baru kukenal, aku begitu berterima kasih, tetapi kepada ibuku yg memasak untukku selama bertahun-tahun, aku bahkan tidak memperlihatkan kepedulianku kepadanya. Dan hanya karena persoalan sepele, aku bertengkar dengannya. Ana, segera menghabiskan bakminya, lalu ia menguatkan dirinya untuk segera pulang ke rumahnya.

Saat berjalan ke rumah, ia memikirkan kata-kata yang harus diucapkan kepada ibunya. Begitu sampai di ambang pintu rumah, ia melihat ibunya dengan wajah letih dan cemas. Ketika bertemu dengan Ana, kalimat pertama yang keluar dari mulutnya adalah "Ana kau sudah pulang, cepat masuklah, aku telah menyiapkan makan malam dan makanlah dahulu sebelum kau tidur. Makanan akan menjadi dingin jika kau tdk memakannya sekarang". Saat itu Ana tdk dapat menahan tangisnya dan ia menangis dihadapan ibunya.

Sekali waktu, kita mungkin akan sangat berterima kasih kepada orang lain di sekitar kita untuk suatu pertolongan kecil yang diberikan kepada kita. Tetapi kepada orang yang sangat dekat dengan kita (keluarga) khususnya orang tua, kita harus ingat bahwa kita berterima kasih kepada mereka seumur hidup kita.

Kamis, November 08, 2007

[resep] Exotic Fruit Drink

Bahan:
1 cangkir jus jeruk
1 cangkir jus cranberry
1/2 cangkir jus lemon
1 (32 fluid ounce) botol air soda

Cara membuat:
1. Taruh jus jeruk, jus cranberry dan jus lemon dalam 3 cangkir yang terpisah.
2. Tuangkan masing-masing jus dalam cetakan es berbentuk kubus tanpa mencampurnya.
3. Lalu bekukan.
4. Ketika beku, ambil 1 atau 2 kubus es dari setiap jus yang berbeda masukan ke dalam gelas tinggi.
5. Tuangkan air soda ke dalam gelas tersebut.

Untuk ? porsi

Rabu, November 07, 2007

[rohani] Tuhan itu Baik

Yohanes
3:16Karena begitu besar kasih Allah akan dunia ini, sehingga Ia telah mengaruniakan Anak-Nya yang tunggal, supaya setiap orang yang percaya kepada-Nya tidak binasa, melainkan beroleh hidup yang kekal.

Matius
11:28Marilah kepada-Ku, semua yang letih lesu dan berbeban berat, Aku akan memberi kelegaan kepadamu.
11:29Pikullah kuk yang Kupasang dan belajarlah pada-Ku, karena Aku lemah lembut dan rendah hati dan jiwamu akan mendapat ketenangan.
11:30Sebab kuk yang Kupasang itu enak dan beban-Kupun ringan."

Mazmur
86:5Sebab Engkau, ya Tuhan, baik dan suka mengampuni dan berlimpah kasih setia bagi semua orang yang berseru kepada-Mu.
100:5Sebab TUHAN itu baik, kasih setia-Nya untuk selama-lamanya, dan kesetiaan-Nya tetap turun-temurun.
106:1Haleluya! Bersyukurlah kepada TUHAN, sebab Ia baik! Bahwasanya untuk selama-lamanya kasih setia-Nya.
145:8TUHAN itu pengasih dan penyayang, panjang sabar dan besar kasih setia-Nya.
145:9TUHAN itu baik kepada semua orang, dan penuh rahmat terhadap segala yang dijadikan-Nya.

... (terlalu panjang untuk disebutkan, terlalu luas untuk dijabarkan, terlalu dalam untuk dimengerti)

[renungan] Tiada Perbuatan Baik yang Kecil

Seandainya saja aku bisa menghentikan satu Hati dari kepedihan,
Aku tak akan merasa hidup dalam kesia-siaan;
Seandainya aku dapat meringankan Beban suatu Kehidupan,
Atau meredakan kepedihan,
Atau membantu seekor Burung Murai yang pingsan,
Kembali ke Sarangnya,
Aku tak akan hidup dalam kesia-siaan.
-- Emily Dickinson
 
Hari itu hari Kamis, hari pengucapan syukur, hari yang direncanakan sebagai hari untuk ibadah. Hari khusus itu merupakan tradisi mingguan yang diprakarsai oleh dua gadis kecil, anakku dan aku sendiri sejak beberapa tahun lalu. Hari Kamis menjadi hari bagi kami untuk keluar ke alam bebas dan memberikan sumbangan positif. Pada hari Kamis yang khusus ini, kami tak punya gagasan pasti apa yang akan kami lakukan, tetapi kami tahu sesuatu akan muncul dengan sendirinya.
 
Sambil mengendarai mobil di sepanjang jalan Houston yang ramai, berdoa mohon bimbingan terhadap hasrat kami untuk memenuhi janji Hari Perbuatan Baik pekan itu. Ketika hari menjelang siang, sudah tentu perut dua bocah kecilku mulai lapar. Mereka berupaya menyadarkanku akan situasi mereka dengan bernyanyi, "McDonald, McDonald, McDonald, ...." sepanjang perjalanan. Aku menyerah dan dengan bersungguh-sungguh mulai mencari-cari McDonald terdekat. Mendadak aku sadar bahwa di setiap persimpangan jalan yang kulewati selalu ada beberapa pengemis. Hal itu menggugah hatiku! Jika dua anakku yang kecil kelaparan, semua pengemis itu tentunya kelaparan juga.
 
Tepat! Sasaran Perbuatan Baik yang akan kami lakukan telah muncul dengan sendirinya. Kami pergi membeli makan siang untuk para pengemis itu. Setelah menemukan McDonald dan memesan dua Happy Meals untuk gadis-gadis kecil itu, aku memesan tambahan 15 kotak makan siang dan kami pun keluar untuk membagikannya. Benar-benar menggembirakan. Kami menghampiri setiap pengemis, memberikan sumbangan kami, lalu memberitahu mereka bahwa kami berharap keadaan mereka baik-baik saja. Lalu kami mengatakan, "Eh omong-omong, ini ada makan siang." Lalu kami pun melaju ke persimpangan berikutnya. Itu adalah cara terbaik untuk memberi. Tak ada waktu cukup bagi kami untuk memperkenalkan diri kami atau menerangkan apa yang kami lakukan, juga tak ada waktu bagi mereka untuk mengatakan sesuatu kembali kepada kami.

Perbuatan Baik itu anonim dan memberi kekuatan kepada kami masing- masing, dan kami senang melihat apa yang tampak dari kaca belakang; seseorang yang terperanjat penuh kegembiraan mengangkat tas makan siangnya lalu memandang kami yang melaju pergi. Benar-benar indah!
Kami sudah mendekati akhir rute kami hari itu dan ada seorang wanita kecil berdiri, meminta uang kecil. Kami memberikan sedekah ala kadarnya dan kantong makan siang terakhir yang kami miliki, lalu buru- buru berputar ke arah yang berlawanan-pulang ke rumah. Sial, lampu merah menahan kami kembali dan kami pun berhenti di persimpangan yang sama dimana si wanita kecil tadi berdiri. Aku merasa malu dan tak tahu harus bersikap bagaimana. Aku tak ingin wanita itu merasa terpaksa mengatakan atau melakukan sesuatu.
 
Dia bergerak ke mobil kami, maka kuturunkan jendela ketika dia mulai berbicara, "Tak seorang pun pernah melakukan hal seperti ini untukku sebelumnya," katanya dengan takjub. Aku menjawab, "Yah, aku bahagia kami menjadi yang pertama." Merasa tak enak, dan ingin memperpanjang percakapan itu saya pun bertanya, "Lalu, kapan kamu akan memakan santapan siangmu?" Dia hanya melihat padaku dengan mata coklatnya yang besar dan sayu, lalu berkata, "Oh sayang, aku tak akan memakannya." Aku terheran- heran, tetapi sebelum aku sempat mengatakan sesuatu, ia melanjutkan. "Anda tahu, aku punya seorang gadis kecil di rumah dan dia suka sekali McDonald, tetapi aku tak pernah mampu membelikan untuknya karena aku benar-benar tak punya uang. Tetapi tahukah Anda ... malam ini dia akan makan McDonald!"
 
Aku tak tahu apakah anak-anak melihat air mata di pelupuk mataku. Begitu sering aku bertanya apakah Perbuatan Baik yang kami lakukan begitu remeh atau tak punya arti untuk mendatangkan perubahan yang nyata. Namun pada saat itu aku menyadari kebenaran kata-kata Ibu Teresa :" Kita tak mampu melakukan hal-hal yang besar kita hanya mampu melakukan hal-hal yang kecil dengan cinta yang besar. "